Ragam Peserta Didik Berkebutuhan Khusus

Ragam peserta didik berkebutuhan khusus dituangkan dalam UU No. 20/2003, hal ini dipergunakan untuk memudahkan guru dalam mengenali dan melakukan evaluasi serta memberikan asesmen pada peserta didik berkebutuhan khusus tersebut. Dalam panduan ini keberagaman peserta didik berkebutuhan khusus dikelompokkan menjadi sebagai berikut.

Peserta didik dengan hambatan penglihatan/ Tunanetra

Seseorang disebut mengalami kesulitan belajar apabila setelah diukur dengan menggunakan tes kecerdasan menghasilkan skor IQ rata-rata atau di atas rata-rata, tetapi memperlihatkan hasil belajar (pada bidang tertentu) berada jauh di bawah perkembangan usia dan kemampuan mentalnya. Dalam pelayanan pendidikan di sekolah reguler, sering kali guru dihadapkan pada siswa yang mengalami problem belajar atau kesulitan belajar. Salah satu kelompok kecil siswa yang termasuk dalam klasifikasi tersebut adalah kelompok anak yang berkesulitan belajar spesifik atau disebut specific learning disability. Anak berkesulitan belajar spesifik adalah individu yang mengalami gangguan dalam suatu proses psikologis dasar, disfungsi sistem syaraf pusat, atau gangguan neurologis yang dimanifestasikan dalam kegagalan kegagalan nyata dalam: pemahaman, gangguan mendengarkan, berbicara, membaca, mengeja, berpikir, menulis, berhitung, atau keterampilan sosial.
Kesulitan tersebut bukan bersumber pada sebab-sebab keterbelakangan mental, gangguan emosi, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, atau karena kemiskinan, lingkungan, budaya, ekonomi, ataupun kesalahan metode mengajar yang dilakukan oleh guru.
Secara garis besar kelompok siswa berkesulitan belajar dapat dibagi dua.
Pertama, yang berkaitan dengan perkembangan (developmental learning disabilities), mencakup gangguan motorik dan persepsi, bahasa dan komunikasi, memori, dan perilaku sosial.
Kedua, yang berkaitan dengan akademik (membaca, menulis, dan berhitung) sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, tetapi kedua kelompok ini tidak dapat dipisahkan secara tegas karena ada keterkaitan di antara keduanya (Kirk dan Gallagher, 1986).
Mereka dapat mengikuti kurikulum standar, tetapi harus dengan penyesuaian (kurikulum adaptasi).
Seseorang disebut mengalami hambatan penglihatan apabila setelah diukur dengan menggunakan alat ukur ketajaman penglihatan menghasilkan skor 20/200 feet atau kurang dari itu, dan/atau memiliki lapang pandang kurang dari 20 derajat. Anak dengan hambatan penglihatan adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatan sedemikian rupa sehingga membutuhkan layanan khusus dalam pendidikan maupun kehidupannya. Berdasarkan ketajaman penglihatannya tunanetra dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak yang buta total (totally blind) dan anak kurang lihat (low vision). Keduanya memiliki kebutuhan belajar yang berbeda dan membutuhkan layanan yang berbeda pula. peserta didik dengan hambatan penglihatan biasanya memiliki tingkat perkembangan intelektual yang wajar sehingga dapat mengikuti pendidikan dengan kurikulum standar, tetapi harus dilakukan adaptasi atau penyesuaian.

Peserta didik dengan hambatan penglihatan
Peserta didik dengan hambatan penglihatan adalah seseorang yang tidak dapat melihat 6 m di depannya atau jika bidang penglihatannya berdiameter kurang dari 20.

Kualifikasi:
Kurang penglihatan, mereka yang memiliki pandangan yang kabur ketika melihat suatu objek.
Buta total, mereka yang sama sekali tidak mampu melihat rangsangan cahaya dari luar.

Karakteristik peserta didik dengan gangguan penglihatan secara fisik:
Mata Juling; Sering berkedip; Menyipitkan (kelopak) mata; Mata merah; Mata infeksi; Gerakan mata tak beraturan dan cepat; Mata selalu berair; Pembengkakan pada kulit tempat tumbuh bulu mata; Mata gatal, panas atau merasa ingin menggaruk karena gatal; Sering merasa pusing atau sakit kepala; dan Penglihatan kabur atau ganda.

Peserta didik dengan hambatan pendengaran/ Tunarungu

Peserta didik dengan hambatan pendengaran adalah suatu kondisi kerusakan atau tidak berfungsinya pendengaran dalam berbagai tingkatan yang menyebabkan terjadinya kemiskinan bahasa. Peserta didik dengan hambatan pendengaran apabila diukur dengan menggunakan audiometer menghasilkan skor 91 dB atau lebih besar, disebut tuli, dan apabila menghasilkan 27 – 90 db disebut kurang dengar (hard of hearing). Walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengar, mereka masih tetap memerlukan layanan pendidikan khusus. 
Peserta didik dengan hambatan pendengaran secara umum tidak mengalami hambatan intelektual, tetapi mengalami keterlambatan bahasa dan hambatan komunikasi.
Mereka dapat mengikuti kurikulum standar, tetapi harus dilakukan adaptasi, terutama untuk mengatasi kemiskinan bahasa melalui pemerolehan bahasa lebih dahulu. Orang/anak yang mengalami gangguan pendengaran sehingga mengganggu proses pemerolehan informasi melalui pendengaran dengan atau tanpa alat bantu dengar.

Karakteristik berdasarkan aspek sosial-emosional:
Pergaulan terbatas dengan sesama peserta didik dengan hambatan pendengaran, Sifat ego-sentris yang melebihi anak normal, Perasaan takut (khawatir) terhadap lingkungan sekitar, Perhatian anak Peserta didik dengan hambatan pendengaran sukar dialihkan; Memiliki sifat polos, dan Cepat marah dan mudah tersinggung.

Karakteristik berdasarkan aspek fisik/kesehatan:
Jalannya kaku dan agak membungkuk, Gerak matanya lebih cepat, Gerakan tangannya cepat/lincah, dan Pernafasannya pendek.

Klasifikasi:
Gangguan pendengaran ringan dengan derajat 20-30dB
Pada klasifikasi ini anak masih mampu belajar bicara dengan menggunakan alat pendengaran dan dapat berkembang normal.

Gangguan pendengaran marginal, 30-40dB
Pada klasifikasi ini anak umumnya akan mengalami kesulitan mendengar jarak jauh lebih dari satu kaki dan kesulitan dalam mengikuti percakapan, tetapi anak masih dapat belajar berbicara menggunakan alat pendengarannya.

Gangguan pendengaran jenis sedang, d0-60 dB
Pada klasifikasi ini anak umumnya hanya dapat mendengar suara dengan volume tinggi.

Gangguan pendengaran berat, 60-70 dB
Pada klasifikasi ini anak tidak dapat berbicara tanpa menggunakan teknik-teknik khusus.

Gangguan pendengaran sangat berat, lebih dari 75 dB
Pada klasifikasi ini anak tidak dapat belajar menggunakan alat dengarnya.

Peserta didik dengan hambatan intelektual/ Tunagrahita

Peserta didik dengan hambatan intelektual (intellectual disability) adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan atau keterbelakangan intelektual sehingga mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik maupun sosialnya.

Seseorang dikatakan mengalami hambatan intelektual apabila memiliki tiga indikator, yaitu:
a) keterlambatan fungsi kecerdasan secara umum atau perkembangan kecerdasan mentalnya jauh di bawah usia kronologis;
b) hambatan dalam perilaku sosial/adaptif; dan
c) terjadi pada usia perkembangan maksimal sampai usia 18 tahun.
Tingkat kecerdasan seseorang diukur melalui tes inteligensi yang hasilnya disebut dengan IQ (intelligence quitient).

Peserta didik dengan hambatan intelektual dikelompokkan menjadi 4 (empat) tingkatan sebagai berikut:

  1. Peserta didik dengan hambatan intelektual ringan (IQ 70-55).
  2. Peserta didik dengan hambatan intelektual sedang (IQ 55-40).
  3. Peserta didik dengan hambatan intelektual berat (IQ 40-25).
  4. Peserta didik dengan hambatan intelektual sangat berat (IQ <25).

Peserta didik dengan hambatan intelektual:
Peserta didik dengan hambatan intelektual adalah individu yang memiliki intelegensi yang signifikan berada di bawah rata-rata dan disertai dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan.

Peserta didik dengan hambatan intelektual memiliki keterbatasan di dua bidang:
Fungsi intelektual. juga dikenal sebagai IQ. mengacu pada kemampuan seseorang untuk belajar, bernalar, membuat keputusan, dan memecahkan masalah.
Perilaku adaptif, merupakan keterampilan yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari, seperti dapat berkomunikasi secara efektif, berinteraksi dengan orang lain, dan menjaga diri sendiri.

Peserta didik dengan hambatan intelektual selanjutnya diklasikasikfian sebagai baik, ringan, sedang, parah, atau mendalam berdasarkan tingkat fungsi adaptif.

Ciri – ciri: Berguling, duduk, merangkak, atau berjalan terlambat.
a) Berbicara terlambat atau kesulitan berbicara.
b) Lambat untuk menguasai hal-hal seperti latihan pispot, berpakaian, dan makan sendiri.
c) Kesulitan mengingat sesuatu.
d) Ketidakmampuan untuk menghubungkan tindakan dengan konsekuensi.
e) Masalah perilaku, seperti amukan yang meledak-ledak. Kesulitan dengan pemecahan masalah atau pemikiran logis.

Apa yang menyebabkan cacat intelektual?

  • Kondisi genetik. Masalah selama kehamilan, seperti penggunaan alkohol atau narkoba, malnutrisi, infeksi tertentu, atau preeklamsia.
  • Masalah saat melahirkan, seperti bayi kekurangan oksigen saat melahirkan atau lahir sangat prematur.
  • Penyakit atau cedera. Infeksi seperti meningitis, batuk rejan, atau campak.

Peserta didik dengan hambatan fisik motorik/ Tunadaksa

Peserta didik dengan hambatan fisik motorik adalah anak yang mengalami hambatan yang bersifat menetap pada anggota gerak (tulang, sendi, otot). Mereka mengalami gangguan gerak karena kelayuhan otot, atau gangguan fungsi syaraf otak (Cerebral Palsy), dan/atau kelumpuhan pada anggota tubuh (Polio). Seseorang disebut peserta didik dengan hambatan fisik motorik jika mengalami kondisi sebagai berikut.

  1. Cerebral Palcy (CP): mengalami gangguan motorik karena ketidak-berfungsinya bagian pada otak (kelayuhan pada otak) tampak dalam kondisi spastic, athetoid, ataxia, rigit, dan tremor.
  2. Polio: kelumpuhan pada anggota tubuh karena penyakit atau virus pada masa kandungan atau kanak-kanak sehingga menyebabkan gangguan perkembangan.
  3. Amputasi: kehilangan salah satu atau lebih anggota tubuh karena diamputasi dan (biasanya) digantikan anggota tubuh tiruan.
  4. Muscular Distrophy Progresive: kelainan gerak yang diakibatkan karena kelainan otot yang bersifat progressif (semakin lama semakin berat).

Peserta didik dengan hambatan fisik motorik: Peserta didik dengan hambatan fisik motorik adalah hilangnya atau rusaknya sebagian fungsi tubuh seseorang dalam jangka panjang yang mengakibatkan terbatasnya fungsi fsik mobilitas, ketangkasan, atau stamina.

Kategori:
Hambatan neuro/otak (Cerebral palsy spina bifda poliomyelitis)
Hambatan otot/motorik (Deformitas anggota badan osteogensis imperfecta dan distroli otot)

Ciri – ciri peserta didik dengan hambatan fisik motorik:
Anggota gerak tubuh kaku lemah/lumpuh, Kesulitan dalam gerakan, Terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna, Hiperaktif/tidak dapat tenang, Terdapat cacat pada alat gerak, Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam, Kesulitan pada saat berdiri, berjalan/duduk.

Peserta didik dengan hambatan emosi dan perilaku

Anak dengan hambatan emosi dan perilaku menurut IDEA memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  • ketidakmampuan belajar tetapi tidak terkait dengan masalah intelektual, sensori, atau faktor kesehatan;
  • ketidakmampuan membangun hubungan interpersonal yang baik dengan teman sebaya maupun guru;
  • ketidakselarasan pola perilaku maupun perasaan dalam situasi normal;
  • menunjukkan ketidakbahagiaan dan depresi; dan
  • cenderung menunjukkan tanda kecemasan yang berkaitan dengan masalah personal maupun problem sekolah.

Peserta didik dengan hambatan emosi dan perilaku secara umum tidak mengalami hambatan intelektual sehingga dimungkinkan dapat mengikuti kurikulum standar meskipun harus dengan adaptasi atau penyesuaian.

Peserta didik lamban belajar (slow learner)

Lamban belajar (slow learner) adalah anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah rata-rata anak sebayanya, tetapi tidak termasuk kategori peserta didik dengan hambatan intelektual (biasanya memiliki IQ antara 70- 90). Dalam beberapa hal anak ini mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon rangsangan dan kemampuan untuk beradaptasi,
tetapi lebih baik dibanding dengan peserta didik dengan hambatan intelektual. Mereka membutuhkan waktu belajar lebih lama dibandingkan dengan sebayanya, sehingga mereka memerlukan layanan pendidikan khusus. Mereka dapat mengikuti kurikulum standar, tetapi membutuhkan waktu yang lebih lama. Adaptasi kurikulum sangat diperlukan untuk mereka.

Peserta didik berkesulitan belajar spesifik (specific learning disability)

Seseorang disebut mengalami kesulitan belajar apabila setelah diukur dengan menggunakan tes kecerdasan menghasilkan skor IQ rata-rata atau di atas rata-rata, tetapi memperlihatkan hasil belajar (pada bidang tertentu) berada jauh di bawah perkembangan usia dan kemampuan mentalnya. Dalam pelayanan pendidikan di sekolah reguler, sering kali guru dihadapkan pada siswa yang mengalami problem belajar atau kesulitan belajar. Salah satu kelompok kecil siswa yang termasuk dalam klasifikasi tersebut adalah kelompok anak yang berkesulitan belajar spesifik atau disebut specific learning disability. Anak berkesulitan belajar spesifik adalah individu yang mengalami gangguan dalam suatu proses psikologis dasar, disfungsi sistem syaraf pusat, atau gangguan neurologis yang dimanifestasikan dalam kegagalan kegagalan nyata dalam: pemahaman, gangguan mendengarkan, berbicara, membaca, mengeja, berpikir,
menulis, berhitung, atau keterampilan sosial.  Kesulitan tersebut bukan bersumber pada sebab-sebab keterbelakangan mental, gangguan emosi, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, atau karena kemiskinan, lingkungan, budaya, ekonomi, ataupun kesalahan metode mengajar yang dilakukan oleh guru. Secara garis besar kelompok siswa berkesulitan belajar dapat dibagi dua. Pertama, yang berkaitan dengan perkembangan (developmental learning disabilities), mencakup gangguan motorik dan persepsi, bahasa dan komunikasi, memori, dan perilaku sosial. Kedua, yang berkaitan dengan akademik (membaca, menulis, dan berhitung) sesuai dengan kapasitas yang dimiliki, tetapi kedua kelompok ini tidak dapat dipisahkan secara tegas karena ada keterkaitan di antara keduanya (Kirk dan Gallagher, 1986). Mereka dapat mengikuti kurikulum standar, tetapi harus dengan penyesuaian (kurikulum adaptasi).

Peserta didik cerdas istimewa dan bakat istimewa

Seseorang disebut cerdas istimewa dan/ atau bakat istimewa apabila setelah diukur dengan menggunakan tes kecerdasan baku menghasilkan skor IQ di atas normal, mereka juga memiliki kreativitas dan task commitment di atas rata-rata. Seorang disebut memiliki bakat istimewa apabila bakat tersebut sangat menonjol dalam bidang akademik tertentu, olahraga, seni dan/atau kepemimpinan melebihi tingkat perkembangan usia teman sebaya. Menurut Renzulli (1978, 2005) Gifted and talented children adalah peserta didik yang mempunyai kelebihan dalam tiga komponen yakni mempunyai kapasitas intelektual di atas rata-rata yang ditandai dengan IQ (skala Weschler) di atas 130, memiliki motivasi dan komitmen terhadap tugas yang tinggi, serta memiliki kreativitas yang tinggi. Gagne menitikberatkan konsepsi keberbakatan istimewa sebagai hasil interaksi antara faktor keturunan (genetic) dan faktor tumbuh kembang (developmental) yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Dalam kegiatan belajar, peserta didik berbakat dapat dengan cepat menguasai materi pelajaran di sekolah. Namun, di sisi lain, mereka cenderung cepat bosan dan frustrasi karena kurangnya tantangan yang diterima di sekolah. Peserta didik berbakat juga mempunyai minat tertentu yang menjadi fokus perhatiannya, tapi fokus dan perhatiannya terhadap minat ini membuat peserta didik berbakat penasaran dan terkadang menjadi tidak peduli dengan berbagai aktivitas lainnya dalam proses belajar-mengajar di kelas. Cara peserta didik berbakat berinteraksi juga berbeda dengan peserta didik lainnya. Mereka cenderung lebih senang diskusi dengan orang dewasa, senang memberikan kritik terhadap pertanyaan daripada menjawab pertanyaan yang diajukan rekannya. Selain itu, peserta didik berbakat juga cenderung lebih rapuh emosionalnya, merasa teralienasi karena dirinya berbeda dengan peserta didik lain di lingkungan sosialnya. Peserta didik berbakat juga mempunyai selera humor yang tinggi, bahkan terkadang dengan mengolok-olok dirinya sendiri. Berbagai perbedaan yang dimiliki peserta didik berbakat ini membutuhkan perlakuan khusus dari guru di sekolah dan lingkungan kondusif yang memahami perbedaan yang dimilikinya. Model layanan bagi peserta didik berbakat ini bisa menggunakan diferensiasi kurikulum, yaitu: a. Pengayaan (enrichment), berupa tawaran ekstra materi pelajaran yang dimaksudkan untuk pendalaman dan perluasan; b. Pemadatan atau (compacting), berupa pemadatan materi pelajaran reguler.

Atau dengan kata lain bahwa pelajaran yang diberikan tidak perlu dilakukan pengulangan-pengulangan yang memang diperlukan sebagai latihan bagi peserta didik normal; dan c. Paruh waktu (part-time) dalam kelompok-plus atau kelas-plus (pull-out). Kelas itu diadakan ekstra aktivitas atau program yang menantang khusus untuk peserta didik gifted. Kegiatan dalam kelompok/kelas plus ini dilakukan beberapa jam dalam satu minggu. Bila peserta didik gifted tersebut membutuhkan kegiatan yang menantang guna memenuhi kebutuhan keberbakatannya, ia dapat sementara waktu keluar dari kelasnya (pull-out), masuk ke dalam kelompok-plus atau kelas-plus tersebut, bersama-sama dengan peserta didik gifted lainnya dalam berbagai usia mengerjakan berbagai proyek yang diminatinya. Kelas-kelas seperti ini sering juga disebut Kangaroo-class; dan d) Percepatan (acceleration), yaitu berupa lompat kelas (Class skipping). Namun percepatan ini membutuhkan beberapa pertimbangan berupa: kematangan sosial emosional, kapasitas intelektual, prestasi, adanya lompatan perkembangan didaktik, persetujuan orang tua, dan penerimaan guru.

Peserta didik autistic spectrum disorders (ASD)

Autistic Spectrum Disorders (ASD) dari kata auto, yang berarti sendiri. ASD sering diartikan seorang anak yang hidup dalam dunianya sendiri. Autisme merupakan sebuah hambatan perkembangan yang dialami seseorang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan di mana penyandangnya memiliki kekhasan utama, yaitu hambatan interaksi, komunikasi, dan perilaku. Berbeda dari bentuk kebutuhan khusus lain yang sering diklasifikasikan berdasar berat dan ringan, autisme diklasifikasikan berdasarkan karakteristik yang dipayungi dengan istilah spectrum. Masing-masing spectrum memiliki karakter yang unik. Kata kunci pada bentuk-bentuk autis adalah spectrum (Friend, 2003; Yapko, 2004), di mana mengimplikasikan kesamaan karakter, tetapi berbeda variasi pada keterampilan yang ditunjukkan. Spectrum dari autism tersebut adalah autistic disorder atau autism, childhood disintegrative children, Asperger syndrome, Rett’s syndrome, Pervasive developmental disorder-not otherwise specified (PDD-NOS). Seseorang dikatakan autis jika memiliki serangkaian gejala perilaku yang berbeda pada hambatan dalam tiga ranah perkembangan berikut (Shulman, 2002).

  • Hambatan dalam interaksi sosial secara resiprokal/ berbalasan.
  • Hambatan dalam komunikasi baik verbal maupun nonverbal, termasuk di dalamnya permasalahan dalam aktivitas imajinasi.
  • Hambatan dalam perilaku, termasuk di dalamnya keterbatasan dalam serangkaian aktivitas dan minat.
Implikasi dari hambatan komunikasi, interaksi sosial dan perilaku tersebut mengakibatkan berperilaku tidak sesuai dengan situasi sosial yang sedang berlangsung, tidak adanya kontak mata, permasalahan pada pemusatan perhatian, tidak hadirnya gesture untuk menjembatani komunikasi, dan kesulitan menginterpretasikan gesture orang lain. Sementara itu, dampak dari hambatan komunikasi adalah mereka gagal memahami makna dan tujuan komunikasi sehingga kesulitan mengembangkan makna bicara untuk menginisiasi dan mempertahankan topik percakapan dan bergabung dengan perasaan dan ide orang lain dalam sebuah percakapan.
Hambatan perilaku sering ditunjukkan dengan gerakan stereotype dan berulang di mana aktivitas tersebut menimbulkan ketidaknyamanan bagi orang lain, sebab ekspresi yang mereka tunjukkan tidak lazim. Keterbatasan yang dialami anak autis menyebabkan mereka mengalami kesulitan untuk mengikuti kurikulum standar. Mereka membutuhkan kurikulum khusus yang disusun berdasarkan hasil asesmen.

Peserta didik autistic spectrum disorders (ASD): Autisme adalah keadaan yang disebabkan oleh kelainan dalam perkembangan otak yang ditandai dengan kelainan dalam interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang sangat kaku dan pengulangan perilaku.

Peserta didik attention deficit hyperactivity disorder (ADHD)

Istilah hiperaktif yang banyak dikenal masyarakat sering muncul dengan istilah ADHD (attention deficit hiperactivity disorder). Istilah tersebut menunjuk kepada anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku yang biasanya ditandai dengan satu atau lebih dari tiga ciri berikut: a. kesulitan melakukan konsentrasi atau mencurahkan perhatian dalam waktu yang relatif lama; b. adanya gerakan yang berlebihan atau kesulitan untuk diam; dan c. perilaku impulsif, yaitu kecenderungan untuk bertindak sekehendak hatinya.
Gangguan perhatian, misalnya ditandai dengan perilaku melamun, mudah lupa, sembrono, tak acuh, gagal dalam penyelesaian tugas, menghindari tugas berat. Hiperaktivitas dapat ditandai dengan adanya perilaku gelisah, berdiri dari duduk, sulit diam, susah mengendalikan diri, bicara berlebihan, berlari, memanjat tidak pada tempat dan waktunya. Impulsivitas, di antaranya dapat dilihat dari perilaku sebagi berikut: menjawab sebelum pertanyaan selesai, kesulitan dalam hal menunggu giliran, atau suka mengganggu orang lain.

ragam1ragam2ragam3ragam4

sumber: https://kurikulum.kemdikbud.go.id/rujukan/panduan-panduan-kurikulum-merdeka

Mungkin Anda juga menyukai